Senin, 01 Maret 2021

Pentas Kehidupan

    Terkadang, ada beberapa hal yang digenggam erat-erat, namun dengan mudahnya malah terlepas begitu saja. Selalu dikejar setengah mati, namun nampak tak kunjung tercapai. Sudah diperjuangkan dengan segala doa dan usaha, namun hasilnya terasa tak pernah setimpal. Seperti paham betul arah mana yang harus dituju untuk sampai ke tujuan yang diinginkan, tapi di tengah perjalan tiba-tiba tersesat entah kemana...

    Hal tersebut baru saja terjadi dalam diri Manusia. Ia bersama Optimis baru saja tersesat dalam perjalanannya ke suatu tujuan yang diarahkan Realita. Manusia yang kelelahan pun menghentikan perjalanannya. Menyadari hal itu, Optimis yang berada beberapa langkah di depan Manusia turut menghentikan langkahnya, menunggu Manusia segera menyusulnya. Sementara itu, Realita yang ternyata dengan sengaja mengarahkan perjalanan ke arah yang salah, memilih terus melangkah meninggalkan mereka berdua.

    "Ya Tuhan, apakah ini takdirku, atau masih bisa aku coba lagi?" tanya Manusia pada Tuhan, setengah putus asa.

    Mendengar hal tersebut, muncullah Pesimis di hadapan Manusia secara tiba-tiba dan mendekatinya. Pesimis tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia hanya mempersiapkan tempat istirahat yang terlihat cukup nyaman dan mempersilakan Manusia segera masuk. Manusia pun hanya menurut, meski sebenarnya tak paham dengan sikap Pesimis.

    Rupanya, dari kejauhan Optimis melihat Manusia yang sedang putus asa dan tergoda penawaran tersebut. Optimis lantas segera berlari menghampiri mereka. Ia pun meminta Manusia untuk segera keluar dari tempat tersebut dan mengajaknya melangkah lagi, meyakinkannya bahwa segala sesuatu yang diharapkan dapat terwujud melalui usaha dan doa. Kali ini, Optimis berhasil membuat Manusia terhanyut lagi dengan lamunan angan-angan seperti awal saat mereka memulai perjalanan. Optimis lalu menarik Manusia keluar dari tempat istirahat yang sebelumnya telah Pesimis siapkan.

    "Ikuti aku! Aku akan terus berlari mengejar Realita," Seru Optimis pada Manusia sambil berlari.

    Manusia pun kembali melangkah mengikuti Optimis dan menyusul Realita, meski sebenarnya tidak benar-benar yakin dengan arah yang sedang mereka tuju.

    Saat Manusia menghentikan langkah sejenak di tengah perjalanan dan menoleh ke belakang, Rupanya Pesimis masih ada beberapa langkah di belakangnya, tak kunjung pergi dan malah mengikuti. Pesimis turut menghentikan langkahnya, namun tak menghampiri dan hanya tersenyum manis kepada Manusia seakan sedang menggodanya. Melihat sikap aneh Pesimis, Manusia pun memilih tidak menghiraukan Pesimis dan kembali melangkah mengejar langkah Optimis agar tidak terlalu jauh tertinggal di belakang. Lagi-lagi, Pesimis kembali mengikuti di barisan paling akhir meski tak secepat langkah Manusia pergi.

    Manusia terus mempercepat langkahnya, mengejar Optimis yang semakin jauh berlari. Sampai akhirnya, Manusia menyadari bahwa ia sudah mengitari jalan yang sama berkali-kali. Ia pun mulai kesal mengikuti langkah Optimis yang hanya berputar-putar saja mengikuti Realita. Langkahnya pun semakin pelan karena mulai merasa lelah.

    Kemudian, entah datang dari mana, tiba-tiba saja Realita berlari menghampiri Manusia. Realita kemudian mendorong Manusia hingga jatuh tersungkur. Realita memang aneh, dan dari dulu tidak pernah peduli dengan kondisi Manusia. Tanpa menghiraukan kondisi Manusia sedikit pun, Realita kembali berjalan meninggalkan Manusia dan kembali mengarahkan jalan Optimis. Optimis lantas terdiam dari kejauhan, meneriaki Manusia untuk berdiri lagi, dan menunggu Manusia menghampirinya dan Realita.

    Hari semakin gelap dan suasana hening seketika. Manusia masih terluka karena Realita telah menyakitinya. Langkahnya juga semakin pelan, membuatnya semakin jauh tertinggal dari Optimis dan Realita. Cahaya terus meredup, membuat Optimis dan Realita semakin sulit terlihat seakan terus pergi meninggalkannya. Tak banyak hal yang dapat ia lakukan selain diam di tempat dan menangis. 

    Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh Pesimis. Melihat Manusia semakin tertinggal jauh, jatuh, dan terluka, Pesimis pun mempercepat langkah dan menghampirinya. Masih dengan senyum manisnya seperti saat itu, yang pada akhirnya membuat Manusia merasa sedikit terhibur.

    "Temanku... Lihatlah, meski aku hanya diam di belakangmu, akulah yang paling setia bersamamu setiap kali kau terjatuh. Untuk apa kau harus pergi jauh? Kau bahkan tak tahu bagaimana cara mencapai tujuanmu, hanya berlari bersama Optimis, mengikuti arah Realita yang bolak-balik begitu saja. Apakah Optimis selalu ada di sisimu? Apakah Realita peduli denganmu?" tanya Pesimis.

    Manusia kemudian menggeleng pelan, masih terisak.

    "Beristirahatlah, hidup saja terus seperti ini bersamaku di sini," kata Pesimis seraya memeluk Manusia dengan hangat.

    Manusia menoleh ke sekelilingnya. Sekarang langit sudah benar-benar gelap. Realita dan Optimis seakan sudah benar-benar hilang dari pandangannya. Tak ada yang bisa ia lihat dengan jelas selain Pesimis yang mendekapnya semakin erat.

    "Terima kasih selalu menemaniku, Pesimis. Mungkin kau benar, lebih baik aku menetap disini bersamamu," ujar Manusia menutup mata, dan seketika terlelap dengan nyenyak setelah membalas pelukan hangat Pesimis.

.

.

.

    Rupanya, jauh dari atas sana, sang Tuhan sedang menikmati seluruh kejadian itu. Usaha diam-diam Pesimis telah berhasil meredupkan cahaya kehidupan di bawah sana. Sebelum Optimis sempat berkata-kata, Pesimis telah membuat Manusia memejamkan mata dan tertidur pulas dalam pelukannya. Saat ini Optimis sudah ada di sebelah Manusia, bahkan sudah meneriaki Manusia untuk bangun dan melangkah lagi, tetapi Manusia masih saja tertidur pulas dalam pelukan Pesimis. Tersenyumlah sang Tuhan melihat Optimis yang kebingungan mencari cara agar Manusia segera bangun dan sadar akan keberadaannya. 

    "Apa rencana-Mu berikutnya, Tuhan? Apa yang harus aku lakukan pada Manusia? Hanya aku yang dapat membangunkan tidurnya, tetapi tindakanku akan selalu tergantung pada-Mu," tanya Realita menatap Tuhan ke atas.

    "Tunggu dulu, Realita. Diam saja kau sejenak di hadapannya." jawab sang Tuhan lalu tertawa.

    Sang Tuhan lalu kembali tersenyum saat melihat ulang berbagai opsi rencana yang telah ia susun sebelumnya dari tempat-Nya.

    "Aku menunggu sikap Manusia selanjutnya. Aku sedang menanti Manusia kembali mengingat-Ku, dan rencana-Ku selanjutnya itu tergantung dari tindakan ia nanti," jelas-Nya.

Sabtu, 25 Januari 2020

Hilang Empati

Ah sudah, sudah!
Itu-itu saja yang kau keluhkan.
Angan-angan tak kesampaian tak seberapa
dibanding kecewaku dengan kesempatan.

Hei, camkan ini,
karena sejak awal semua memang untuk sendiri,
maka yang terpenting
ya aku sendiri!

Persetanlah kamu mau bagaimana, jadi apa.
Kalau bukan waktumu menang,
mungkin memang usahamu yang kurang?

(29 Oktober 2019; ditulis saat jatuh dan tersungkur)

Sabar Sebentar

Sampai kapan harus bersabar
Menanti saat bangun tidur penuh debar
Namun santai menatap senyum lebar
Enggan pergi, masih bersandar
Walau kereta Angke harus dikejar

...

Perut yang semakin besar
Dekapan sayang tak kunjung kelar
Sabtu Minggu tidak perlu keluar
Sabar ya, tiga tahun itu sebentar!

Sepenggal Isi Hati

Aku yakin sekali
Pergi dan kembali
Ujungnya memang kamu lagi
Tempat ternyaman untuk berbagi

Seseorang yang paling mahir
Buatku memilih ini kali terakhir
Bekunya hati mudah saja mencair
Saatnya nurani bicara tanpa banyak berpikir

Sayang, jadilah tempatku pulang
Jangan lelah buat aku tenang
Bersamamu sedih pun jadi senang
Rembulanku, gelap ini perlahan terang...

Selasa, 06 Agustus 2019

Kata, Rasa, Doa

Kata-kata yang tersusun dalam diam
dan terucap tanpa suara.

Biarkanlah terkirim lewat doa,
tulus di dalam keheningan.

Ikhlaskan Tuhan yang menakar
seberapa pantas hal tersebut tersampaikan,

karena Dia-lah yang Maha mengetahui
apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Kamis, 02 Mei 2019

Hati-Hati Bermain dengan Hatimu Sendiri

Seberapa kuat kau hilangkan aku demi tujuan hidup yang kau cari
Seberapa hebat kau menghindari
Aku akan selalu ada.
Berada dalam ruanganmu,
memperhatikan gerak-gerikmu,
berdiri di hadapanmu,
menatap dalam matamu,
dan memeluk erat tubuhmu,
sebagai kenangan yang akan terus melekat di pikiranmu.

Rabu, 01 Mei 2019

Yang Pertama Menutup Hati

"Aku harus mundur," ucapmu malam itu, sebelum akhirnya bergegas kau pergi memberi sunyi.
Begitu lembut di telinga namun sangat tajam menusuk hati.
Rupanya kau tak pandai mengaduk kata dan rasa menjadi harmoni.

Memaksaku merayu.
Membujuk dirimu jangan berlalu.
Sayang, kau tak hiraukan aku.
Tetap acuh, kau terus melaju.

Sepersekian detik berlalu.
Segera kau menghilang dan aku terpaku.
Saling terluka dan sama-sama membisu.

Air mata terus terjatuh
melihatmu semakin menjauh.

Namun biarlah, aku tak mampu lagi menahanmu.
Rasanya terlampau sakit memaksakan yang memang tak mau.