Jumat, 08 Maret 2019

Berjarak

Layaknya sayap-sayap patah
yang jatuh dari ketinggian,
aku jatuh dan melayang pelan-pelan.

Waktu seakan mendukung kepergianku darimu.
Dipaksanya aku menerima kenyataan
bahwa aku semakin jauh dari kamu.

Jatuh dan terpuruk.
Aku tersungkur di titik terendah,
dipaksa berdiri menghadapi dunia yang jauh dari ekspektasi.
Dunia di mana kini kita berjarak dan tak lagi dekat.

.

Aku bagai sendiri, tersesat,
dan tak mampu temukanmu kembali.
Mencoba terus melangkah,
rupanya aku hanya berjalan tanpa tahu arah.

Ini menyakitkan!
Entah memilih bergerak
atau merenung lalu menunggu,
semua terasa sama saja perihnya.

Untuk apa aku ada di dunia?
Tiap sesuatu yang ku temui lalu ikuti
nampaknya tak memberi arah tujuan yang pasti.
Pada akhirnya, aku hanya bisa menerima rasa lara dengan lirih...

.

Matahari hampir tenggelam pertanda sampainya aku di pengujung hari.
"Mungkin, semesta mendukungku mengakhiri semua keputusasaan
seiring dengan tibanya malam hari nanti" begitu pikirku.

Rupanya benar saja.
Setibanya gelap, datanglah Rembulan
dengan bintang-bintang kecilnya seiring
dengan hilangnya sang Matahari.

Nampaknya semesta justru mempertemukanku
dengan si Malam yang menenangkan,
yang meluruhkan amarahku lewat redup sinarnya,
yang membahagiakanku dengan kerlap-kerlip kecilnya,
yang mempesonakan aku melalui betapa elok kilauannya dari kejauhan;
yang membuatku sadar akan satu hal:
betapa bahagianya mengagumimu saat kita berjarak.

Seperti Senja

Sore ini, Tuhan sang Maha Baik rupanya sedang menunjukkan sisi terbaik-Nya.
Ia teduhkan panasnya siang hari tadi, gantikan terik kilaunya dengan langit biru bersemburat oranye.
Semua menikmati senja itu; termasuk aku yang dilanda rindu.

Segera aku beranjak meninggalkan rumah.
Berjalan menapaki jalan, mengarah menuju taman.
Memandangi langit dari sana memang sangatlah indah, hingga mampu pisahkan aku dengan rasa kesepian.

Taman itu ramai.
Sayang sekali, tetap terasa sunyi bagi aku yang kesepian.
Naasnya lagi, tiba-tiba saja gerimis turun ke bumi, menghujani aku yang enggan mau pergi.
Semua tentu beranjak pergi, namun tidak dengan aku.

Rintik sendu kemudian mengantarku ke tempat sebuah ayunan kecil yang berkarat dan bau besi.
Sembari memainkannya sendiri, ku pandangi cahaya langit senja itu.
Dengan kepala mendongak, ku biarkan tiap tetesnya membasahi wajah.

Mata menerawang dan perlahan terpejam.
Terputar suatu memori di masa lalu... yang isinya tentang kamu.

Hai, kamu.
Apa kabarmu?
Aku harap baik-baik saja, karena aku pun disini baik - sangat baik.

Tentu saja.
Aku masih menjadi si penikmat senja seperti
kemarin, beberapa bulan lalu, dan bahkan beberapa tahun lalu,
semenjak kamu putuskan untuk pergi dari hidupku.

Menikmati segala keindahan di dalam keterbatasan waktu.
Ya, itulah kegemaranku.
Mungkin kamu masih heran dengan tingkahku yang demikian, ya?

Biar ku tebak.
Kamu pasti sedang berpikir,
betapa mengenaskannya si perempuan kesepian yang suka berlarut kesedihan ini.

Maafkan, ... tapi inilah aku.
Aku yang terlalu mencinta.
Aku yang tidak rasional.
Aku yang keras kepala, yang tetap bersikeras mencintai si senja.

Dan senja akan tetap seperti senja;
yang hanya datang sementara,
menyapa, menghilang,
dan menghadirkan kelamnya malam.

Senja yang membahagiakan,
sekaligus memberi kesenduan pula
melalui perpaduan warna indah yang hanya sementara...